Mosquepreneurship

Oleh: Tedi Kholiludin (Pengajar Fakultas Agama Islam Universitas Wahid Hasyim)

Pertengahan Agustus kemarin, saya berkesempatan berbincang-bincang dengan salah satu pengurus Masjid Raya Bintaro Jaya (MRBJ), Tangerang Selatan, Banten. Kami berbincang di sebuah kedai kopi yang ada di lingkungan masjid tersebut. Pengurus yang diberikan amanat untuk mengatur perencanaan dan pengembangan masjid menceritakan bagaimana mereka menghidupkan fungsi sosial rumah Tuhan tersebut, tak sekadar sebagai tempat untuk sholat lima waktu saja.

Pada tahun 2022 masjid ini mendapatkan penghargaaan dari Dewan Masjid Indonesia (DMI) sebagai juara pertama masjid dengan kategori pemberdayaan ekonomi dan kewirausahaan nasional. Di tahun yang sama, DMI menganugerahi Masjid Bintaro sebagai terbaik kedua tipologi Masjid Agung Nasional.

Sembari bercakap-cakap, saya mencermati situasi di sekeliling masjid yang berdiri di atas tanah seluas 5000 meter tersebut. Kedai yang kami gunakan sebagai tempat berbincang, itu adalah milik masjid. Begitupun beberapa unit lainnya; toko buah dan sayuran, poliklinik umum (dan gigi) serta taman kanak-kanak (serta Taman Pendidikan Al-Qur’an). Selain unit tersebut, masjid ini juga memiliki ruang kreatif, aula, ruang rapat, serta food court.

Di tahun 2023, pengurus masjid menargetkan bisa menerima dana 37.175.919.879. Dana tersebut bersumber dari lima bidang; dakwah, pendidikan, sosial, waqaf dan ekonomi Syariah. Dana yang dikelola tersebut kemudian disalurkan kepada mereka yang berhak, sebagian besar diantaranya berupa bingkai program yang bersifat produktif.

Tak sekadar menjaga keseimbangan antara ibadah kepada Allah dan menciptakan relasi yang baik di level sosial-ekonomi, tetapi masjid itu juga memikirkan bagaimana membangun keseimbangan ekologis. Masalah lingkungan seperti sampah, keterbatasan air, pemanasan global, dan lainnya, menggugah kesadaran untuk mendesain masjid yang ramah lingkungan. Beberapa program yang mendukung upaya tersebut antara lain; sedekah sampah, panel surya, sumur penyimpanan air hujan, dan lain sebagainya.

Membangun semangat kewirausahaan berbasis masjid atau mosque-based entrepreneurship (mosquepreneur) isu penting dalam dalam konteks penguatan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Ini tentu terkait dengan fungsi masjid yang sejatinya tak hanya berhenti pada sisi mihrab (tempat ibadah) dan mimbar (fungsi dakwah), tetapi juga dimensi menara; pusat atau magnet aktivitas sekaligus menjangkau umat. Fungsi sosial masjid, dalam implementasinya, kerap terantuk anggapan kalau masjid harus bersih dari kegiatan-kegiatan ekonomi atau perkara non-teologis lainnya. Padahal, kita tentu paham, bahwa yang dimaksud aktivitas ekonomi atau sosial lainnya itu ada di lingkungan, bukan di dalam masjid.

Belajar dari apa yang dilakukan di Masjid Bintaro, membangun semangat mosquepreneur, bisa direalisasikan dengan memperhatikan beberapa aspek. Pertama, mengenali demografi dan geografi. Posisi masjid sangat penting untuk dicermati, karena dengan itu kita bisa membaca peluang aktivitas eknomi apa yang bisa dilakoni oleh jamaah. Pun, memahami latar belakang sosial mereka yang berada di sekitar masjid, baik mereka yang menetap maupun jamaah yang memanfaatkan masjid sebagai tempat sholat. Dengan begitu, apa yang dianggap berhasil di satu tempat, tidak bisa direplikasi serta merta di tempat yang lain, karena ada perbedaan geografi dan juga demografi. 

Kedua, menjaga akuntabilitas serta transparansi dalam pengelolaan keuangan. Untuk menjaga kepercayaan dari munfiq (orang yang berinfaq), mushaddiq (bersedekah), muzakki (berzakat), maka menginformasikan kepada publik secara terbuka adalah upaya yang harus terus dilakukan. Saya menemukan Laporan Audit Independen di papan informasi pada salah satu sudut masjid. Ini sebagai salah satu contoh bagaimana transparansi dan akuntabilitas itu ditunjukan.

Ketiga, fungsi masjid sebagai konektor jamaah dengan lembaga lainnya. Dengan luas “hanya” 5000 meter, pengurus masjid menyadari bahwa infrastruktur (ekonomi) tidak bisa semuanya ada dalam lingkungan masjid. Meski demikian, kegiatan-kegiatan pemberdayaan harus terus berjalan. Salah satu jalan yang ditempuh adalah melibatkan lembaga-lembaga lain. Jelang Idul Adha misalnya, masjid bekerjasama dengan salah satu pondok pesantren menyiapkan hewan kurban yang akan ditawarkan kepada jamaah masjid.

Negara Dermawan

Indonesia merupakan negara yang rakyatnya, tak pernah kehabisan energi berbagi. Tahun 2022 Indonesia dinobatkan sebagai negara paling dermawan sedunia versi Charities Aid Foundation (CAF). CAF adalah badan amal yang berkedudukan di Inggris dengan jangkauan seluruh dunia. Mereka mengeluarkan World Giving Index (WGI) tiap tahunnya, dengan mengacu pada capaian di kurang lebih 140 negara.

Level kedermawanan atau generosity tersebut, diukur melalui tiga indikator; membantu orang asing (helped a stranger), mendonasikan uang untuk beramal dan waktu yang disediakan untuk berorganisasi. Diantara tiga indikator tersebut, kategori donasi uang menjadi yang tertinggi (84%). Kalau ada 10 orang Indonesia, 8 diantaranya mengeluarkan uang untuk beramal. Terlebih ketika di masa pandemi, level kedermawanan tersebut semakin terasa dampaknya.

10 negara yang ada di urutan teratas tersebut adalah Kenya (61 %), Amerika Serikat (59%), Australia (55 %), Selandia Baru (54 %), Myanmar (52 %), Sierra Leone (51 %), Kanada (51 %), Zambia (50 %) dan Ukraina (49 %).

Rizal Alghamar dan Hamid Abidin, dari Indonesia Philanthropy Association, menengarai beberapa faktor yang mendorong tingginya semangat filantropi di Indonesia. Pertama, faktor agama. Ajaran agama tentang sedekah, zakat, infak, wakaf dan lainnya, merupakan salah satu yang menjadi latar belakang. Sekira 5 tahun terakhir, muncul tradisi baru di kalangan muslim, Jumat Berkah. Dengan berbagai variasi, orang-orang Islam menunjukan semangat filantropinya di Hari Jumat.

Kedua, tradisi lokal dan aktivitas untuk saling membantu. Filosofi gotong royong pemantik kognitif masyarakat Indonesia untuk berderma. Ketiga, transformasi digital. Platform digital sukses untuk mengatrol semangat filantropi. Situs yang digunakan sebagai medium untuk berdonasi dengan mudah kita temukan. Transformasi digital mengatasi keterbatasan secara geografis serta persoalan penjarakan secara fisik yang pada masa pandemik cukup ketat diberlakukan. Walhasil, donasi online pada masa pandemi terasa deras.

Keempat, keterlibatan kaum muda, role model dan penggunaan media sosial. Tidak bisa dipungkiri, keberhasilan filantropi di Indonesia, salah satunya, ditunjukkan oleh para Youtuber, Seleb Instagram dan lainnya yang berhasil mengakumulasi semangat bersedekah para followernya. Pada faktor keempat ini, pendonor berasal dari kalangan 29-34 tahun.

Tingkat kedermawanan yang tinggi menjadi faktor pendukung untuk merealisasikan pemberdayaan masyarakat berbasis masjid. Jika spirit yang sudah tertanam pada diri masyarakat Indonesia ini dikawinkan dengan semangat akuntabilitas, berorientasi pada dimensi produktif (bukan konsumtif), serta publikasi (untuk tujuan syiar) yang memadai, akan memperkuat kerja-kerja penguatan ekonomi umat.

Tulisan ini telah dipublikasikan di Harian Suara Merdeka, Jumat 1 September 2023