Warisan Diplomasi Demak-Malaka untuk Ekosistem Keuangan Syariah Modern Negara Serumpun
Oleh: Ali Romdhoni, Peneliti sejarah Demak Bintara dan Malaka. Ketua Program Studi Magister Hukum Ekonomi Syari’ah Universitas Wahid Hasyim Semarang.
Hubungan luar antara Kesultanan Demak Bintara dan Malaka pada rentang tahun 1475-1588 M bukan semata bermotif politik, ataupun keagamaan. Kemistri antara Demak dan Malaka tumbuh terutama karena jaringan ekonomi maritim, dan solidaritas antar kesultanan Islam serumpun.
Sedari awal, Kesultanan Malaka di Semenanjung Melayu menyiapkan diri menjadi kota bandar (pasar, pusat pemerintahan, pemukiman, tempat ibadah, dan aktifitas perdagangan internasional) yang strategis. Sementara Demak Bintara di pesisir utara Jawa menjadi patner penting Malaka, dengan menyediakan pelabuhan-pelabuhan penghubung: Jepara, Tuban, Sidayu, Jaratan, dan Gresik (Rokhman, 2016).
Pada akhirnya, Demak Bintara dan Malaka merupakan pusat kekuasaan Islam yang memainkan peran penting dalam penyebaran agama, perdagangan, dan diplomasi maritim di kepulaauan Nusantara. Kedua kesultanan ini menjadikan Islam sebagai dasar legitimasi kekuasaan dan hukum, serta sebagai alat pemersatu masyarakat multietnis.
Para ulama dan pedagang dari Demak, Malaka, dan juga Pasai saling berkunjung, berbagi pengetahuan, lalu membentuk jaringan dakwah. Persinggungan ketiganya memperkuat solidaritas antar wilayah Islam. Pertemuan ketiga entitas ini (Demak, Malaka, Pasai) tidak mengalami kendala yang berarti dalam komunikasi, bahkan bahasa dan kebudayaan mereka saling mempengaruhi.
Kelak, ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis pada 1511 M, Demak Bintara mengirim ekspedisi militer berkali-kali untuk membantu membebaskan Malaka dari penjajah. Sekali lagi, ini menunjukkan adanya rasa solidaritas dan tanggung jawab kolektif antar kesultanan serumpun.
Iya, relasi Demak dan Malaka bukan hanya soal strategi politik. Ia melambangkan kesadaran regional, tentang perlunya gotong-royong antar negara serumpun dalam menghadapi ancaman eksternal, maupun tantangan internal. Model kerja sama antar negara yang mengedepankan prinsip keadilan, kepercayaan, dan kepedulian terhadap sesama.
Waktu itu memang belum muncul konsep negara serumpun, tetapi praktik dan semangatnya sudah diperankan oleh Demak Bintara dan Kesultanan Malaka.
Menafsiri Diplomasi Demak-Malaka
Di era modern ini, konsep negara serumpun merujuk pada Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Peradaban yang menopang konsep negara serumpun adalah Melayu Islam, yang telah terbentuk jauh sebelum batas-batas negara modern ditetapkan. Lebih jauh lagi, membahas konsep negara serumpun bukan hanya soal kesamaan bahasa atau budaya, tetapi tentang nilai-nilai, sistem sosial, dan jaringan diplomasi yang telah terjalin sejak abad pertengahan (Ghani dan Paidi, 2010).
Menurut Laporan Perkembangan Ekonomi Keuangan dan Kerja Sama Internasional (PEKKI) yang diterbitkan oleh Bank Indonesia (2024), akibat konflik geopolitik, seperti perang Israel-Palestina dan ketegangan Israel-Iran, ekonomi global hari ini mengalami gangguan yang serius. Negara serumpun yang bergantung pada pasar global, jelas akan terdampak.
Pada situasi demikian, warisan diplomasi Kesultanan Demak Bintara-Malaka bisa menjadi inspirasi, sebagai modal untuk membangun ekosistem keuangan syariah modern di kawasan negara serumpun. Melalui kolaborasi negara-negara di Asia Tenggara, Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam bisa memimpin projek pengembangan crowdfunding syariah untuk kemanusiaan dan pembangunan berkelanjutan.
Melalui pendekatan historis-prospektif, hubungan diplomatik dan ekonomi antara Demak Bintara dan Malaka bisa dimaknai sebagai cikal bakal Islamic economic diplomacy. Warisan diplomasi Demak-Malaka sangat mungkin diwujudkan kembali dalam model kerja sama antar negara Muslim berbasis teknologi keuangan syariah, sebagai kelanjutan dari semangat solidaritas Islam regional.
Dari perspektif hukum ekonomi syariah, masyarakat negara serumpun memiliki peluang besar untuk membuat inovasi teknologi keuangan yang sesuai prinsip syariah, menghindari spekulasi dan jeratan bunga riba (Amrullah dan Hasan, 2021).
Sistem keuangan syariah modern telah berkembang pesat, tetapi masih bertumpu pada struktur formal: bank syariah, akad, regulasi, dan instrumen. Selanjutnya membutuhkan ekosistem, yaitu ruang yang melibatkan akademisi, regulator, pelaku usaha, komunitas digital, dan masyarakat berperadaban dalam satu napas tujuan bersama.
Perkembangan sistem ekonomi syariah tanpa dibarengi dengan pembangunan ekosistem, itu ibarat membangun masjid megah tanpa akses dan jamaah. Memang masjid itu menjulang, tetapi senyap. Secara teknis sistem bisa berjalan, tetapi secara sosial tidak berdampak. Tanpa ekosistem, tidak ada simpul yang menyatukan antar aktor dalam satu arah pembangunan umat. Tanpa ekosistem, sistem ekonomi syariah akan kehilangan arah nilai.
Di sinilah narasi sejarah Demak-Malaka menjadi relevan. Para aktor membangun jaringan lintas selat, bukan dengan instrumen teknokratik, melainkan diplomasi kultural berbasis nilai. Dalam dunia keuangan modern, hal serupa bisa diwujudkan lewat pengembangan financial technology (fintech) syariah yang berakar lokal namun berskala regional.
Ekosistem Keuangan Syariah
Saat ini, negara-negara serumpun belum memiliki ekosistem keuangan modern yang terintegrasi dan solid, berbasis nilai-nilai syariah dan sejarah bersama. Kalaupun ada benih-benih kolaborasi, masih bersifat sporadis, dan belum terstruktur dalam kerangka kerja sama ekonomi syariah digital yang holistik.
Sebagai negara serumpun dengan akar sejarah Melayu Islam yang kuat, Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam bisa membangun ekosistem keuangan syariah regional berbasis teknologi.
Pertama, membentuk forum diplomasi ekonomi syariah serumpun, untuk menyusun standar bersama dan memperkuat posisi global.
Kedua, menghidupkan warisan diplomasi Islam Demak-Malaka. Pola kerjasama negara-negara di Asia Tenggara yang berakar pada nilai keadilan, gotong-royong, dan keberkahan. Menurut penulis, dunia kampus dan para ilmuwan harus lebih giat lagi untuk mengabarkan gagasan-gagasan besar dari sejarah, mengkajinya, lalu menerapkannya secara kontekstual. Membaca jejak diplomasi ekonomi Demak-Malaka, kita memahami bahwa solidaritas antar negara Muslim serumpun sudah berlangsung jauh sebelum berdirinya organisasi formal, seperti Organisasi Kerja Sama Islam (OKI).
Sebagaimana sejarah Demak dan Malaka yang penuh tantangan (konflik kekuasaan, ancaman penjajah, dan fragmentasi wilayah), membangun ekosistem keuangan syariah negara serumpun bukan hal mudah. Negara serumpun dapat menciptakan deklarasi ekonomi syariah yang mengikat kerja sama lintas batas di bidang regulasi fintech, pembiayaan wakaf produktif, hingga mitigasi bencana berbasis zakat digital.
Secara geopolitik, Demak dan Malaka memang sudah hilang, tetapi sebagai warisan nilai dan visi kolektif tetap hidup. Spirit diplomasi Demak-Malaka bisa kita gunakan untuk membangun ekosistem keuangan syariah digital negara serumpun.
Alhasil, warisan diplomasi Demak-Malaka adalah pelajaran tentang solidaritas maritim Islam kesultanan serumpun. Sebagaimana para sultan Demak dan keturunan sultan Malaka yang bersatu melawan penjajah Portugis, perang Palestina, Israil, Iran hari ini adalah ujian solidaritas global. Belajar dari Demak-Malaka, kesultanan serumpun membentuk jaringan diplomasi berbasis nilai Islam, perdagangan adil, dan solidaritas regional.
Dengan semangat kolaborasi, nilai gotong-royong, dan visi kesejahteraan bersama, negara serumpun bisa membangun masa depan ekonominya sendiri, yang berkeadilan secara spiritual dan sosial. Beruntung, para leluhur kita mewariskan harta pusaka berharga, membangun jaringan antar pelabuhan, bukan semata berdagang, tapi juga menyebarkan kebaikan ke penjuru dunia.
Tulisan ini telah dipublikasikan di Harian Suara Merdeka, Senin 7 Juli 2025