SEMARANG – KRjogja.com – Dalam upaya memperkuat jejaring internasional serta mengembangkan keilmuan yang berakar pada nilai-nilai Islam moderat, Universitas Wahid Hasyim (UNWAHAS) melalui Fakultas Hukum dan Fakultas Agama Islam menyelenggarakan kegiatan Kuliah Umum Internasional yang dirangkaikan dengan Penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) bersama Innovative University College, Malaysia.

Kegiatan ini digelar Senin 5 Mei 2025 di aula gedung dekanat lt 6 kampus 1 dan dihadiri oleh sivitas akademika Unwahas serta delegasi resmi dari Malaysia.

Kegiatan ini dibuka secara langsung oleh Rektor Universitas Wahid Hasyim, Prof. Dr. Ir. H. Helmy Purwanto, ST., MT., IPM yang memberikan sambutan sekaligus arahan strategis mengenai pentingnya internasionalisasi pendidikan tinggi dalam menghadapi tantangan global, khususnya di bidang hukum dan ekonomi syariah.

Dalam sambutannya, Prof Helmy menegaskan bahwa kerja sama internasional bukan hanya simbol seremonial, tetapi bagian dari visi besar Unwahas dalam menjadi universitas unggul dan berdaya saing global berbasis nilai-nilai keislaman dan kebangsaan.

Kegiatan ini menjadi jembatan akademik antara Indonesia dan Malaysia dalam mengembangkan wacana hukum bisnis syariah yang progresif, adaptif, dan kontekstual.

“Kita perlu memperkuat kerja sama tidak hanya dalam tataran administratif, tetapi juga substansi keilmuan. Mari kita lahirkan riset-riset bersama, pertukaran gagasan, dan forum ilmiah yang produktif dan bermanfaat lintas negara,” tegas Prof. Dr. Helmy Purwanto, ST., MT., IPM di hadapan seluruh peserta.

Selain Rektor, acara ini juga dihadiri oleh jajaran pimpinan universitas, seperti Wakil Rektor, Para Dekan di lingkungan Universitas Wahid Hasyim, para dekan dari berbagai fakultas, kepala Kantor Urusan Internasional dan Kerjasama Unwahas, dosen, serta ratusan mahasiswa dari Fakultas Hukum dan Fakultas Agama Islam. Hadir pula tamu undangan dari institusi pendidikan, perbankan syariah, dan lembaga hukum yang turut memberi semangat terhadap kolaborasi ini. diikuti sesi dokumentasi serta penyerahan cenderamata antar lembaga.

Kuliah umum internasional ini mengusung tema “Hukum Bisnis dalam Perspektif Syariah”, dengan menghadirkan narasumber utama Prof. Syekh Dr. Omar Kalash Al Husainiy, Profesor studi islam di Innovative University College, Malaysia.

Narasumber menjelaskan bagaimana prinsip-prinsip hukum syariah tidak hanya menjadi dasar etik, tetapi juga sistem hukum yang dapat diadopsi dalam tata kelola bisnis modern, termasuk dalam kontrak, pembiayaan, investasi, dan penyelesaian sengketa.

Diskusi juga menyoroti tantangan harmonisasi antara hukum positif nasional dan prinsip-prinsip fiqh muamalah dalam konteks globalisasi. Di era modern seperti sekarang seperti
Digitalisasi: Bisnis menggunakan teknologi seperti aplikasi, AI, dan big data untuk meningkatkan efisiensi dan layanan.

E-commerce & Fintech: Platform seperti Tokopedia, Shopee, OVO, dan kripto memungkinkan transaksi instan dan lintas negara. Gig Economy: Munculnya sistem kerja fleksibel berbasis proyek atau permintaan (freelancer, ojek online, jasa kreatif). Inovasi Produk & Layanan: Bisnis lebih fokus pada pengalaman konsumen (customer-centric).
Bisnis Berbasis Platform: Seperti GoTo, Bukalapak, dan startup lainnya yang mempertemukan penjual dan pembeli lewat sistem digital.

Penandatanganan MoU antara UNWAHAS dan Innovative University College menjadi bagian penting dari acara ini. Kerja sama tersebut meliputi berbagai program strategis, antara lain Pertukaran mahasiswa dan dosen antarnegara, Program riset kolaboratif lintas bidang hukum dan studi Islam, Penyelenggaraan seminar internasional dan joint conference tahunan, Penerbitan jurnal ilmiah bersama, Pengembangan kurikulum hukum bisnis syariah berstandar ASEAN.

Selain itu. Dalam pertemuan bilateral yang digelar sebelumnya, kedua belah pihak juga menyampaikan komitmen untuk mendorong lahirnya pusat kajian hukum Islam internasional berbasis akademik dan praktik, dengan pendekatan komparatif antara sistem hukum di Indonesia dan Malaysia.

Kegiatan ini tidak hanya menjadi ruang transfer ilmu, tetapi juga memperkuat diplomasi pendidikan antarbangsa. UNWAHAS, melalui momentum ini, kembali menunjukkan posisinya sebagai kampus Islam unggulan yang progresif, terbuka, dan siap berkontribusi di panggung internasional.

Acara ditutup dengan sesi tanya-jawab interaktif antara peserta dan narasumber. (Sgi)

Semarang, 3 Juni 2025 — Fakultas Agama Islam Universitas Wahid Hasyim (UNWAHAS) menggelar kegiatan Guest Lecture bertajuk “Islamic Studies in Indonesia and Malaysia” yang menghadirkan narasumber dari Malaysia, Professor Dr. Mohd Roslan bin Mohd Nor dari University of Malaya. Acara ini diselenggarakan pada Selasa, 3 Juni 2025, di kampus UNWAHAS yang terletak di Jl. Menoreh Tengah X/22, Kota Semarang.

Kegiatan ini menjadi platform penting bagi dosen UNWAHAS khususnya Program Doktoral Fakultas Agama Islam untuk memperluas wawasan dan pemahaman mereka tentang studi Islam dalam perspektif global. Salah satu fokus utama dalam guest lecture ini adalah membahas perbandingan antara perkembangan studi Islam di Indonesia dan Malaysia, dua negara dengan mayoritas Muslim yang memiliki sejarah, budaya, dan tradisi yang saling terkait namun memiliki karakteristik yang berbeda dalam perkembangan pemikiran Islam.

Professor Dr. Mohd Roslan bin Mohd Nor, yang merupakan ahli terkemuka dalam bidang studi Islam di Malaysia, berbagi pandangan mendalam mengenai dinamika pendidikan Islam di kedua negara tersebut. Selain itu, beliau juga menyoroti tantangan dan peluang yang ada dalam pengembangan kajian Islam di tingkat internasional, serta pentingnya kolaborasi akademik antar negara Muslim dalam menghadapi isu-isu kontemporer yang relevan dengan perkembangan umat.

Kegiatan ini diharapkan dapat membuka ruang diskusi yang lebih luas mengenai studi Islam yang lebih inklusif dan aplikatif, tidak hanya di Indonesia dan Malaysia, tetapi juga di tingkat global. Dengan menghadirkan tokoh akademik terkemuka, acara ini juga menjadi momentum untuk memperkuat jejaring akademik antara UNWAHAS dan lembaga pendidikan Islam lainnya di dunia.

Tindak lanjut dari kegiatan ini diharapkan dapat memperkaya kajian ilmiah di bidang studi Islam, sekaligus memberi kontribusi bagi pengembangan wawasan dosen dan mahasiswa dalam memahami relevansi Islam dalam berbagai konteks global.

Pattani, Thailand — Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang kembali memperluas jejaring internasional dengan melaksanakan kegiatan Joint Seminar Internasional bersama Jamiah Islam Syeikh Daud Al-Fathoni (JISDA), Pattani, Thailand, pada 10 Oktober 2024. Seminar ini mengangkat tema “Islam Nusantara dalam Perspektif Global: Tradisi, Moderasi, dan Tantangan Kontemporer”, yang disampaikan oleh dua narasumber dari Unwahas, yaitu: Dr. Ifada Retno Ekaningrum, M.Ag.Dr. H. Syaifuddin, M.A.

Kegiatan seminar dilaksanakan di Ruang Seminar Utama, Gedung Kampus JISDA lantai 2, dan dihadiri oleh lebih dari 100 mahasiswa dan dosen JISDA. Kegiatan ini menjadi momentum penting untuk saling bertukar pengetahuan serta menjalin kerja sama akademik lintas negara, khususnya di bidang pendidikan Islam yang berwawasan moderat dan kontekstual.

Dalam pemaparannya, Dr. Ifada Retno Ekaningrum menjelaskan secara komprehensif tentang konsep Islam Nusantara sebagai model keberislaman yang berkarakter ramah, menghargai tradisi lokal, serta menolak kekerasan atas nama agama. Ia menegaskan bahwa Islam Nusantara bukanlah mazhab baru, tetapi pendekatan dakwah dan pendidikan Islam yang kontekstual, berbasis pada nilai-nilai wasathiyah (moderat), tasamuh (toleran), dan i’tidal (berkeadilan).

Sementara itu, Dr. H. Syaifuddin, M.A. mengupas secara historis dan filosofis tentang akar keilmuan Islam Nusantara, termasuk kontribusi ulama pesantren dan Wali Songo dalam menyebarkan Islam di wilayah Asia Tenggara secara damai dan inklusif. Ia menekankan bahwa pemikiran Islam Nusantara sejalan dengan semangat Islam global yang mendorong peradaban, bukan pertentangan. Sesi tanya jawab berlangsung dinamis. Para mahasiswa JISDA mengajukan pertanyaan kritis seputar:

  • Bagaimana konsep Islam Nusantara bisa diterapkan dalam konteks masyarakat Muslim di Thailand Selatan?
  • Apa keunggulan metodologi pendidikan Islam berbasis lokalitas?
  • Bagaimana Islam Nusantara merespons arus fundamentalisme dan globalisasi?

Para dosen JISDA turut mengapresiasi paparan dua narasumber Unwahas yang dinilai membawa perspektif baru dan membuka ruang dialog yang konstruktif antara Islam Melayu dan Islam Nusantara. Dalam kesempatan ini, pihak Unwahas dan JISDA juga mendiskusikan peluang kerja sama jangka panjang, seperti: pertukaran dosen dan mahasiswa, penelitian kolaboratif, Publikasi ilmiah bersama, pelatihan metodologi penelitian dan pengembangan kurikulu moderasi Islam.

Kegiatan diakhiri dengan penyerahan cinderamata dari Unwahas kepada pihak JISDA, diikuti sesi foto bersama yang berlangsung hangat dan penuh semangat persaudaraan ilmiah.

Kegiatan joint seminar ini membuktikan bahwa nilai-nilai Islam Nusantara dapat menjadi inspirasi global dalam membangun peradaban Islam yang damai, adaptif, dan toleran. Seminar ini juga menjadi titik awal dari kolaborasi akademik antara Unwahas dan JISDA, yang diharapkan akan berkembang menjadi sinergi yang saling memperkuat antar-lembaga pendidikan Islam di Asia Tenggara.

Pattani, Thailand — Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang terus memperluas kontribusinya di kancah internasional melalui kolaborasi akademik lintas negara. Salah satu bentuk nyata dari komitmen tersebut adalah penyelenggaraan kegiatan visiting lecture yang digelar di Jamiah Islam Syeikh Daud Al-Fathoni (JISDA), Pattani, Thailand.

Pada kesempatan ini, dua dosen dari Program Pascasarjana Unwahas, yaitu Dr. Ifada Retno Ekaningrum, M.Ag., dan Linda Indiyarti Putri, M.Pd., hadir sebagai narasumber untuk menyampaikan materi kuliah dengan tema “Metode Penelitian Kualitatif”. Kegiatan dilaksanakan pada 1 Oktober 2024  bertempat di ruang belajar lantai 1 Kampus JISDA, dan berlangsung dari pukul 11.00 hingga 13.00 waktu setempat.

Kegiatan ini diikuti oleh puluhan mahasiswa dari berbagai program studi di lingkungan JISDA yang sangat antusias mengikuti sesi perkuliahan. Materi yang disampaikan mencakup pengenalan dasar metode kualitatif, pendekatan-pendekatan dalam penelitian lapangan, teknik pengumpulan dan analisis data, hingga aplikasi metode ini dalam konteks pendidikan Islam dan sosial keagamaan.

Atmosfer kelas terasa sangat interaktif. Mahasiswa tidak hanya mendengarkan, tetapi juga aktif mengajukan pertanyaan yang reflektif dan mendalam, mulai dari bagaimana menentukan fokus penelitian kualitatif, teknik wawancara yang efektif, hingga cara menyusun kerangka analisis tematik. Kehadiran kedua dosen Unwahas ini memberikan perspektif baru bagi mahasiswa dalam memahami metode kualitatif secara komprehensif dan aplikatif.

Dalam wawancara singkat usai kegiatan, Dr. Ifada menyampaikan apresiasinya atas antusiasme mahasiswa JISDA. “Kami sangat terkesan dengan semangat mahasiswa di sini. Mereka menunjukkan rasa ingin tahu yang tinggi terhadap metodologi penelitian, dan ini sangat penting sebagai bekal mereka dalam menempuh studi lanjut maupun dalam menulis skripsi atau tesis,” ungkapnya.

Hal senada disampaikan oleh Linda Indiyarti Putri, M.Pd., yang menambahkan bahwa kegiatan semacam ini bukan hanya transfer ilmu, tetapi juga menjadi ruang untuk membangun jembatan akademik dan kultural antara dua institusi“Kami melihat bahwa kolaborasi ini memiliki potensi besar untuk terus dikembangkan, baik melalui program visiting lecture, seminar bersama, maupun pertukaran pelajar dan dosen di masa mendatang,” tuturnya.

Kegiatan ditutup dengan sesi foto bersama, di mana para mahasiswa tampak antusias dan penuh semangat mendokumentasikan momen kebersamaan ini. Suasana keakraban dan kebersamaan terlihat begitu kuat, menunjukkan bahwa kegiatan ini bukan hanya bermanfaat dari sisi akademik, tetapi juga memperkuat ikatan emosional dan nilai persahabatan antarbangsa. Melalui program ini, Unwahas tidak hanya memperluas jejaring internasionalnya, tetapi juga turut memberikan kontribusi terhadap pengembangan kapasitas akademik mahasiswa Muslim di kawasan Asia Tenggara. Visiting lecture ini diharapkan menjadi langkah awal dari kolaborasi-kolaborasi strategis berikutnya antara Unwahas dan JISDA, serta lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya di luar negeri.

Semarang – Program Doktor Agama Islam Fakultas Agama Islam Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) kembali melahirkan doktor baru. Pada Jumat (15/8/2025), Dr. Roziqun, M.Ag resmi meraih gelar doktor setelah mempertahankan disertasinya dalam Ujian Terbuka di Lantai 6 Gedung Dekanat Unwahas, Sampangan, Kota Semarang. Ia menjadi doktor ke-19 yang lulus dari program doktor ini.

Roziqun mengangkat tema Model Penguatan Profil Pelajar Pancasila dan Rahmatan Lil ‘Alamin Berbasis Ahlussunnah wal Jamaah. Latar belakang kajiannya berangkat dari kegelisahan terhadap tantangan pendidikan di era kontemporer yang diwarnai polarisasi ideologi, konflik agama, serta pengaruh globalisasi.

“Dalam situasi sekarang, kita membutuhkan model pendidikan yang bisa menjadi jembatan atas perbedaan, menumbuhkan karakter toleran sekaligus menjaga nasionalisme,” ujar Roziqun dalam pemaparannya.

Menurutnya, konsep Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) memiliki peran sentral dalam pendidikan Islam Indonesia karena mampu menghadirkan pemahaman keagamaan yang moderat dan inklusif. “Aswaja menjaga keseimbangan antara keagamaan dan kebangsaan. Di situ ada ajaran toleransi, pluralisme, sekaligus cinta tanah air,” tambahnya.

Dalam temuannya, Roziqun menegaskan bahwa penguatan profil pelajar Pancasila dan nilai rahmatan lil ‘alamin berbasis Aswaja sangat penting untuk membentuk generasi muda yang tangguh, terbuka, dan tetap berpegang pada nilai luhur bangsa. “Model ini bukan hanya meningkatkan kualitas pendidikan karakter di madrasah, tetapi juga membentuk generasi yang siap menghadapi tantangan global dengan kepribadian Pancasila,” tegasnya.

Penguatan tersebut diwujudkan melalui berbagai tema pembelajaran seperti Hidup Berkelanjutan, Kearifan Lokal, Bhinneka Tunggal Ika, Demokrasi Pancasila, Bangunlah Jiwa dan Raganya, Berekayasa dan Berteknologi untuk Membangun NKRI, serta kewirausahaan.

Ujian terbuka dipimpin oleh Dekan Fakultas Agama Islam Unwahas, Dr. H. Iman Fadhilah. Adapun jajaran promotor dan penguji antara lain Prof. Dr. H. Mudzakkir Ali, Prof. Dr. H. Mahmutarom HR, Prof. Dr. Fatah Syukur, Dr. Ifada Retno Ekaningrum, dan Dr. Nur Cholid. Sejumlah tamu undangan turut hadir memberi apresiasi.

Dalam sambutannya, Dekan FAI Unwahas, Dr. Iman Fadhilah menyampaikan, “Keberhasilan Dr. Roziqun menunjukkan konsistensi program doktor Agama Islam Unwahas dalam melahirkan karya-karya akademik yang relevan dengan kebutuhan bangsa. Semoga kontribusi beliau bermanfaat luas, khususnya dalam penguatan pendidikan karakter berbasis nilai Aswaja.” Selain akademisi, Roziqun juga berkiprah sebagai birokrat. Saat ini ia menjabat sebagai Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Blora, Provinsi Jawa Tengah.

Semarang – Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang melantik sejumlah pejabat struktural baru pada Kamis, 5 Juni 2025, dalam sebuah seremoni di Kampus Unwahas. Salah satu pejabat yang dilantik adalah Ali Romdhoni sebagai Ketua Program Studi Magister (S2) Hukum Ekonomi Syariah, Fakultas Agama Islam (FAI).

Pelantikan dipimpin langsung oleh Rektor Unwahas, Prof. Dr. Ir. H. Helmy Purwanto, ST., MT., IPM. Dalam sambutannya, Prof. Helmy menegaskan bahwa jabatan dalam institusi pendidikan bukanlah bentuk penghargaan pribadi, melainkan sebuah amanah yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab dan integritas.

“Jabatan ini bukan hanya kehormatan pribadi, tetapi tentang kepercayaan yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan institusi, masyarakat, dan Allah SWT,” tegas Prof. Helmy.

Ali Romdhoni, alumnus Universiti Sultan Zainal Abidin, Terengganu, Malaysia, menyampaikan bahwa dirinya telah menyiapkan sejumlah fokus strategis dalam kepemimpinannya sebagai ketua program studi.

“Pertama, saya akan mendorong kolaborasi dengan lembaga-lembaga lain untuk memperkuat relevansi kurikulum dengan kebutuhan industri,” jelasnya.

Ia juga menekankan pentingnya peningkatan kualitas sumber daya manusia.

“Kedua, kami akan mengembangkan kapasitas dosen, termasuk mendorong keikutsertaan mereka dalam program-program internasional agar memiliki kualifikasi global,” tambah Ali.

Selain itu, penelitian dan publikasi ilmiah akan menjadi perhatian utama selama masa kepemimpinannya.

“Ketiga, kami akan menguatkan budaya akademik melalui riset dan publikasi ilmiah, khususnya di bidang hukum ekonomi syariah yang menjadi fokus program studi ini,” tuturnya.

Tak kalah penting, Ali Romdhoni juga menekankan pentingnya keterlibatan aktif dalam pengabdian masyarakat.

“Terakhir, kami ingin memperbanyak program-program pengabdian kepada masyarakat sebagai wujud aplikasi nyata dari ilmu yang dikembangkan di kampus,” pungkasnya.

Dengan pelantikan ini, diharapkan para pejabat baru mampu menjalankan amanah dengan dedikasi dan profesionalisme tinggi demi kemajuan Unwahas serta kontribusi bagi masyarakat luas.

Ujian Promosi Doktor A. Saiful Aziz Bahas Rekonstruksi Batas Usia Capres-Cawapres Berbasis Keadilan

Semarang – A. Saiful Aziz, Sekretaris Program Studi Magister S-2 Hukum Ekonomi Syariah (HES) Universitas Wahid Hasyim, menjalani ujian tertutup disertasi pada Sabtu, 26 Juli 2025. Ayah dua anak tersebut adalah mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang. Dalam ujian yang berlangsung di Kampus Unissula tersebut, Saiful Aziz memaparkan disertasinya yang berjudul “Rekonstruksi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu Perihal Persyaratan Batas Usia Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden Berbasis Nilai Keadilan.”

Ujian tersebut dipimpin oleh Prof. Dr. H. Gunarto, S.H., S.E., Akt., M.Hum. sebagai ketua penguji, dengan tim penguji yang terdiri dari para akademisi terkemuka di bidang hukum, antara lain Prof. Dr. H. Jawade Hafidz, S.H., M.H. (co-promotor), Prof. Dr. Mahmutarrom HR, S.H., M.H. (promotor), serta sejumlah guru besar dan dosen senior lainnya.

Dalam paparannya, Saiful Aziz menyoroti ketentuan usia minimum 40 tahun bagi calon presiden dan calon wakil presiden yang diatur dalam Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Ia menilai ketentuan tersebut tidak lagi sejalan dengan semangat keadilan substantif, inklusivitas, dan proporsionalitas dalam hukum hak asasi manusia.

“Penetapan usia minimum 40 tahun telah menghambat partisipasi politik generasi muda dan tidak mencerminkan nilai-nilai keadilan dalam demokrasi,” tegasnya.

Saiful juga mengaitkan analisis hukumnya dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023, yang membuka ruang bagi interpretasi baru terhadap norma batas usia capres-cawapres. Ia menekankan pentingnya pendekatan dignified justice atau keadilan bermartabat dalam menafsirkan norma-norma hukum pemilu, agar tidak hanya berhenti pada aspek legal-formal, tetapi juga memenuhi rasa keadilan substantif masyarakat.

Disertasinya menyimpulkan bahwa rekonstruksi terhadap Pasal 169 huruf q UU Pemilu sangat mendesak dilakukan. Terdapat dua alternatif rekomendasi yang diajukan: pertama, menurunkan batas usia minimum menjadi 35 tahun agar selaras dengan ketentuan dalam UU Pilkada; kedua, menghapus batas usia kaku dan menggantinya dengan seleksi berbasis kompetensi. Seleksi ini dapat dilakukan oleh lembaga independen dengan penilaian terhadap integritas, rekam jejak kepemimpinan, serta komitmen terhadap nilai-nilai konstitusi.

“Demokrasi yang sehat mestinya memberi ruang bagi siapapun yang memiliki kapasitas dan integritas, bukan sekadar membatasi berdasarkan usia atau jabatan politik sebelumnya,” ujar Saiful.

Ia juga mengusulkan pentingnya kajian lintas disiplin—antara hukum, psikologi politik, dan sosiologi kepemudaan—untuk menyusun parameter objektif dalam menilai kesiapan calon pemimpin nasional di masa depan.

Melalui penelitian ini, Saiful berharap bisa memberikan kontribusi akademik dan praktis dalam pembentukan kebijakan pemilu di Indonesia. Menurutnya, sistem elektoral Indonesia harus diarahkan pada meritokrasi yang inklusif, sehingga seluruh warga negara memiliki hak yang setara untuk mencalonkan diri dalam kontestasi politik nasional, tanpa diskriminasi berbasis usia semata.

Sidang ujian tertutup berlangsung dengan lancar dan disertai sesi tanya jawab mendalam dari para penguji. Disertasi A. Saiful Aziz diapresiasi sebagai karya ilmiah yang kritis, aktual, dan memberikan tawaran konstruktif terhadap reformasi hukum pemilu Indonesia.

U

Semarang – Fakultas Agama Islam Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang kembali membuka penerimaan mahasiswa baru Program Studi Magister (S2) Hukum Ekonomi Syariah untuk Tahun Akademik 2025/2026. Program ini terbuka melalui dua jalur penerimaan, yaitu jalur reguler dan jalur Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL).

Dua Jalur Penerimaan: Reguler dan RPL

Melalui jalur reguler, calon mahasiswa akan mengikuti proses seleksi yang mencakup tes potensi akademik dan kemampuan bahasa (Arab dan Inggris). Jalur ini diperuntukkan bagi lulusan strata satu (S1) dari berbagai program studi keislaman dan hukum, dengan masa studi selama 4 semester.

Sementara itu, jalur RPL ditujukan bagi mereka yang memiliki pengalaman kerja relevan minimal dua tahun dan telah memenuhi capaian pembelajaran tertentu. Melalui jalur ini, mahasiswa berpeluang menyelesaikan studi hanya dalam waktu 1 tahun.

Biaya Pendidikan yang Terjangkau

Untuk jalur reguler, biaya pendaftaran sebesar Rp500.000, dan UKT (Uang Kuliah Tunggal) per semester sebesar Rp4.650.000, dengan total biaya kuliah reguler mencapai Rp18.600.000 selama 4 semester. UKT dibayarkan bulanan sebesar Rp775.000.

Sedangkan untuk jalur RPL, biaya pendaftaran tetap sebesar Rp500.000, ditambah biaya asesmen Rp1.500.000. UKT per semester sebesar Rp5.500.000, serta biaya ujian tesis Rp1.000.000 dan biaya wisuda Rp1.800.000. Total estimasi biaya kuliah jalur RPL berkisar Rp10 juta-an.

Program Unggulan Berbasis Nilai Aswaja

Magister Hukum Ekonomi Syariah Unwahas dirancang untuk mencetak lulusan profesional yang menguasai hukum ekonomi syariah secara teori dan praktik, serta memiliki karakter Ahlussunnah wal Jamaah an-Nahdliyah. Program ini juga menawarkan fleksibilitas studi, dosen berkualifikasi internasional, serta peluang kolaborasi riset dan pengabdian masyarakat.

“Program ini terus menguatkan sinergi antara akademik dan industri, serta menyesuaikan kurikulum dengan kebutuhan zaman,” ungkap Ali Romdhoni, MA, Ketua Program Studi Magister Hukum Ekonomi Syariah.

Program Studi S2 Hukum Ekonomi Syariah Unwahas juga menyediakan berbagai skema beasiswa untuk mahasiswa, antara lain beasiswa alumni, beasiswa dari Baznas, serta dukungan beasiswa melalui kerja sama dengan berbagai instansi. Beragam pilihan ini menjadi daya tarik tersendiri bagi calon mahasiswa yang ingin melanjutkan studi di bidang hukum ekonomi syariah dengan dukungan pembiayaan yang lebih terjangkau.

Informasi lebih lanjut dan pendaftaran dapat dilakukan secara online melalui situs resmi PMB Unwahas: https://pmb.unwahas.ac.id, atau dengan menghubungi Kaprodi HES S2 di nomor 0857-1505-9909.

Oleh: Ali Romdhoni, Peneliti sejarah Demak Bintara dan Malaka. Ketua Program Studi Magister Hukum Ekonomi Syari’ah Universitas Wahid Hasyim Semarang.

Hubungan luar antara Kesultanan Demak Bintara dan Malaka pada rentang tahun 1475-1588 M bukan semata bermotif politik, ataupun keagamaan. Kemistri antara Demak dan Malaka tumbuh terutama karena jaringan ekonomi maritim, dan solidaritas antar kesultanan Islam serumpun.

Sedari awal, Kesultanan Malaka di Semenanjung Melayu menyiapkan diri menjadi kota bandar (pasar, pusat pemerintahan, pemukiman, tempat ibadah, dan aktifitas perdagangan internasional) yang strategis. Sementara Demak Bintara di pesisir utara Jawa menjadi patner penting Malaka, dengan menyediakan pelabuhan-pelabuhan penghubung: Jepara, Tuban, Sidayu, Jaratan, dan Gresik (Rokhman, 2016).

Pada akhirnya, Demak Bintara dan Malaka merupakan pusat kekuasaan Islam yang memainkan peran penting dalam penyebaran agama, perdagangan, dan diplomasi maritim di kepulaauan Nusantara. Kedua kesultanan ini menjadikan Islam sebagai dasar legitimasi kekuasaan dan hukum, serta sebagai alat pemersatu masyarakat multietnis.

Para ulama dan pedagang dari Demak, Malaka, dan juga Pasai saling berkunjung, berbagi pengetahuan, lalu membentuk jaringan dakwah. Persinggungan ketiganya memperkuat solidaritas antar wilayah Islam. Pertemuan ketiga entitas ini (Demak, Malaka, Pasai) tidak mengalami kendala yang berarti dalam komunikasi, bahkan bahasa dan kebudayaan mereka saling mempengaruhi.

Kelak, ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis pada 1511 M, Demak Bintara mengirim ekspedisi militer berkali-kali untuk membantu membebaskan Malaka dari penjajah. Sekali lagi, ini menunjukkan adanya rasa solidaritas dan tanggung jawab kolektif antar kesultanan serumpun.

Iya, relasi Demak dan Malaka bukan hanya soal strategi politik. Ia melambangkan kesadaran regional, tentang perlunya gotong-royong antar negara serumpun dalam menghadapi ancaman eksternal, maupun tantangan internal. Model kerja sama antar negara yang mengedepankan prinsip keadilan, kepercayaan, dan kepedulian terhadap sesama.

Waktu itu memang belum muncul konsep negara serumpun, tetapi praktik dan semangatnya sudah diperankan oleh Demak Bintara dan Kesultanan Malaka.

Menafsiri Diplomasi Demak-Malaka

Di era modern ini, konsep negara serumpun merujuk pada Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Peradaban yang menopang konsep negara serumpun adalah Melayu Islam, yang telah terbentuk jauh sebelum batas-batas negara modern ditetapkan. Lebih jauh lagi, membahas konsep negara serumpun bukan hanya soal kesamaan bahasa atau budaya, tetapi tentang nilai-nilai, sistem sosial, dan jaringan diplomasi yang telah terjalin sejak abad pertengahan (Ghani dan Paidi, 2010).

Menurut Laporan Perkembangan Ekonomi Keuangan dan Kerja Sama Internasional (PEKKI) yang diterbitkan oleh Bank Indonesia (2024), akibat konflik geopolitik, seperti perang Israel-Palestina dan ketegangan Israel-Iran, ekonomi global hari ini mengalami gangguan yang serius. Negara serumpun yang bergantung pada pasar global, jelas akan terdampak.

Pada situasi demikian, warisan diplomasi Kesultanan Demak Bintara-Malaka bisa menjadi inspirasi, sebagai modal untuk membangun ekosistem keuangan syariah modern di kawasan negara serumpun. Melalui kolaborasi negara-negara di Asia Tenggara, Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam bisa memimpin projek pengembangan crowdfunding syariah untuk kemanusiaan dan pembangunan berkelanjutan.

Melalui pendekatan historis-prospektif, hubungan diplomatik dan ekonomi antara Demak Bintara dan Malaka bisa dimaknai sebagai cikal bakal Islamic economic diplomacy. Warisan diplomasi Demak-Malaka sangat mungkin diwujudkan kembali dalam model kerja sama antar negara Muslim berbasis teknologi keuangan syariah, sebagai kelanjutan dari semangat solidaritas Islam regional.

Dari perspektif hukum ekonomi syariah, masyarakat negara serumpun memiliki peluang besar untuk membuat inovasi teknologi keuangan yang sesuai prinsip syariah, menghindari spekulasi dan jeratan bunga riba (Amrullah dan Hasan, 2021).

Sistem keuangan syariah modern telah berkembang pesat, tetapi masih bertumpu pada struktur formal: bank syariah, akad, regulasi, dan instrumen. Selanjutnya membutuhkan ekosistem, yaitu ruang yang melibatkan akademisi, regulator, pelaku usaha, komunitas digital, dan masyarakat berperadaban dalam satu napas tujuan bersama.

Perkembangan sistem ekonomi syariah tanpa dibarengi dengan pembangunan ekosistem, itu ibarat membangun masjid megah tanpa akses dan jamaah. Memang masjid itu menjulang, tetapi senyap. Secara teknis sistem bisa berjalan, tetapi secara sosial tidak berdampak. Tanpa ekosistem, tidak ada simpul yang menyatukan antar aktor dalam satu arah pembangunan umat. Tanpa ekosistem, sistem ekonomi syariah akan kehilangan arah nilai.

Di sinilah narasi sejarah Demak-Malaka menjadi relevan. Para aktor membangun jaringan lintas selat, bukan dengan instrumen teknokratik, melainkan diplomasi kultural berbasis nilai. Dalam dunia keuangan modern, hal serupa bisa diwujudkan lewat pengembangan financial technology (fintech) syariah yang berakar lokal namun berskala regional.

Ekosistem Keuangan Syariah

Saat ini, negara-negara serumpun belum memiliki ekosistem keuangan modern yang terintegrasi dan solid, berbasis nilai-nilai syariah dan sejarah bersama. Kalaupun ada benih-benih kolaborasi, masih bersifat sporadis, dan belum terstruktur dalam kerangka kerja sama ekonomi syariah digital yang holistik.

Sebagai negara serumpun dengan akar sejarah Melayu Islam yang kuat, Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam bisa membangun ekosistem keuangan syariah regional berbasis teknologi.

Pertama, membentuk forum diplomasi ekonomi syariah serumpun, untuk menyusun standar bersama dan memperkuat posisi global.

Kedua, menghidupkan warisan diplomasi Islam Demak-Malaka. Pola kerjasama negara-negara di Asia Tenggara yang berakar pada nilai keadilan, gotong-royong, dan keberkahan. Menurut penulis, dunia kampus dan para ilmuwan harus lebih giat lagi untuk mengabarkan gagasan-gagasan besar dari sejarah, mengkajinya, lalu menerapkannya secara kontekstual. Membaca jejak diplomasi ekonomi Demak-Malaka, kita memahami bahwa solidaritas antar negara Muslim serumpun sudah berlangsung jauh sebelum berdirinya organisasi formal, seperti Organisasi Kerja Sama Islam (OKI).

Sebagaimana sejarah Demak dan Malaka yang penuh tantangan (konflik kekuasaan, ancaman penjajah, dan fragmentasi wilayah), membangun ekosistem keuangan syariah negara serumpun bukan hal mudah. Negara serumpun dapat menciptakan deklarasi ekonomi syariah yang mengikat kerja sama lintas batas di bidang regulasi fintech, pembiayaan wakaf produktif, hingga mitigasi bencana berbasis zakat digital.

Secara geopolitik, Demak dan Malaka memang sudah hilang, tetapi sebagai warisan nilai dan visi kolektif tetap hidup. Spirit diplomasi Demak-Malaka bisa kita gunakan untuk membangun ekosistem keuangan syariah digital negara serumpun.

Alhasil, warisan diplomasi Demak-Malaka adalah pelajaran tentang solidaritas maritim Islam kesultanan serumpun. Sebagaimana para sultan Demak dan keturunan sultan Malaka yang bersatu melawan penjajah Portugis, perang Palestina, Israil, Iran hari ini adalah ujian solidaritas global. Belajar dari Demak-Malaka, kesultanan serumpun membentuk jaringan diplomasi berbasis nilai Islam, perdagangan adil, dan solidaritas regional.

Dengan semangat kolaborasi, nilai gotong-royong, dan visi kesejahteraan bersama, negara serumpun bisa membangun masa depan ekonominya sendiri, yang berkeadilan secara spiritual dan sosial. Beruntung, para leluhur kita mewariskan harta pusaka berharga, membangun jaringan antar pelabuhan, bukan semata berdagang, tapi juga menyebarkan kebaikan ke penjuru dunia.

Tulisan ini telah dipublikasikan di Harian Suara Merdeka, Senin 7 Juli 2025

Oleh: Tedi Kholiludin (Pengajar Fakultas Agama Islam Universitas Wahid Hasyim)

Pertengahan Agustus kemarin, saya berkesempatan berbincang-bincang dengan salah satu pengurus Masjid Raya Bintaro Jaya (MRBJ), Tangerang Selatan, Banten. Kami berbincang di sebuah kedai kopi yang ada di lingkungan masjid tersebut. Pengurus yang diberikan amanat untuk mengatur perencanaan dan pengembangan masjid menceritakan bagaimana mereka menghidupkan fungsi sosial rumah Tuhan tersebut, tak sekadar sebagai tempat untuk sholat lima waktu saja.

Pada tahun 2022 masjid ini mendapatkan penghargaaan dari Dewan Masjid Indonesia (DMI) sebagai juara pertama masjid dengan kategori pemberdayaan ekonomi dan kewirausahaan nasional. Di tahun yang sama, DMI menganugerahi Masjid Bintaro sebagai terbaik kedua tipologi Masjid Agung Nasional.

Sembari bercakap-cakap, saya mencermati situasi di sekeliling masjid yang berdiri di atas tanah seluas 5000 meter tersebut. Kedai yang kami gunakan sebagai tempat berbincang, itu adalah milik masjid. Begitupun beberapa unit lainnya; toko buah dan sayuran, poliklinik umum (dan gigi) serta taman kanak-kanak (serta Taman Pendidikan Al-Qur’an). Selain unit tersebut, masjid ini juga memiliki ruang kreatif, aula, ruang rapat, serta food court.

Di tahun 2023, pengurus masjid menargetkan bisa menerima dana 37.175.919.879. Dana tersebut bersumber dari lima bidang; dakwah, pendidikan, sosial, waqaf dan ekonomi Syariah. Dana yang dikelola tersebut kemudian disalurkan kepada mereka yang berhak, sebagian besar diantaranya berupa bingkai program yang bersifat produktif.

Tak sekadar menjaga keseimbangan antara ibadah kepada Allah dan menciptakan relasi yang baik di level sosial-ekonomi, tetapi masjid itu juga memikirkan bagaimana membangun keseimbangan ekologis. Masalah lingkungan seperti sampah, keterbatasan air, pemanasan global, dan lainnya, menggugah kesadaran untuk mendesain masjid yang ramah lingkungan. Beberapa program yang mendukung upaya tersebut antara lain; sedekah sampah, panel surya, sumur penyimpanan air hujan, dan lain sebagainya.

Membangun semangat kewirausahaan berbasis masjid atau mosque-based entrepreneurship (mosquepreneur) isu penting dalam dalam konteks penguatan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Ini tentu terkait dengan fungsi masjid yang sejatinya tak hanya berhenti pada sisi mihrab (tempat ibadah) dan mimbar (fungsi dakwah), tetapi juga dimensi menara; pusat atau magnet aktivitas sekaligus menjangkau umat. Fungsi sosial masjid, dalam implementasinya, kerap terantuk anggapan kalau masjid harus bersih dari kegiatan-kegiatan ekonomi atau perkara non-teologis lainnya. Padahal, kita tentu paham, bahwa yang dimaksud aktivitas ekonomi atau sosial lainnya itu ada di lingkungan, bukan di dalam masjid.

Belajar dari apa yang dilakukan di Masjid Bintaro, membangun semangat mosquepreneur, bisa direalisasikan dengan memperhatikan beberapa aspek. Pertama, mengenali demografi dan geografi. Posisi masjid sangat penting untuk dicermati, karena dengan itu kita bisa membaca peluang aktivitas eknomi apa yang bisa dilakoni oleh jamaah. Pun, memahami latar belakang sosial mereka yang berada di sekitar masjid, baik mereka yang menetap maupun jamaah yang memanfaatkan masjid sebagai tempat sholat. Dengan begitu, apa yang dianggap berhasil di satu tempat, tidak bisa direplikasi serta merta di tempat yang lain, karena ada perbedaan geografi dan juga demografi. 

Kedua, menjaga akuntabilitas serta transparansi dalam pengelolaan keuangan. Untuk menjaga kepercayaan dari munfiq (orang yang berinfaq), mushaddiq (bersedekah), muzakki (berzakat), maka menginformasikan kepada publik secara terbuka adalah upaya yang harus terus dilakukan. Saya menemukan Laporan Audit Independen di papan informasi pada salah satu sudut masjid. Ini sebagai salah satu contoh bagaimana transparansi dan akuntabilitas itu ditunjukan.

Ketiga, fungsi masjid sebagai konektor jamaah dengan lembaga lainnya. Dengan luas “hanya” 5000 meter, pengurus masjid menyadari bahwa infrastruktur (ekonomi) tidak bisa semuanya ada dalam lingkungan masjid. Meski demikian, kegiatan-kegiatan pemberdayaan harus terus berjalan. Salah satu jalan yang ditempuh adalah melibatkan lembaga-lembaga lain. Jelang Idul Adha misalnya, masjid bekerjasama dengan salah satu pondok pesantren menyiapkan hewan kurban yang akan ditawarkan kepada jamaah masjid.

Negara Dermawan

Indonesia merupakan negara yang rakyatnya, tak pernah kehabisan energi berbagi. Tahun 2022 Indonesia dinobatkan sebagai negara paling dermawan sedunia versi Charities Aid Foundation (CAF). CAF adalah badan amal yang berkedudukan di Inggris dengan jangkauan seluruh dunia. Mereka mengeluarkan World Giving Index (WGI) tiap tahunnya, dengan mengacu pada capaian di kurang lebih 140 negara.

Level kedermawanan atau generosity tersebut, diukur melalui tiga indikator; membantu orang asing (helped a stranger), mendonasikan uang untuk beramal dan waktu yang disediakan untuk berorganisasi. Diantara tiga indikator tersebut, kategori donasi uang menjadi yang tertinggi (84%). Kalau ada 10 orang Indonesia, 8 diantaranya mengeluarkan uang untuk beramal. Terlebih ketika di masa pandemi, level kedermawanan tersebut semakin terasa dampaknya.

10 negara yang ada di urutan teratas tersebut adalah Kenya (61 %), Amerika Serikat (59%), Australia (55 %), Selandia Baru (54 %), Myanmar (52 %), Sierra Leone (51 %), Kanada (51 %), Zambia (50 %) dan Ukraina (49 %).

Rizal Alghamar dan Hamid Abidin, dari Indonesia Philanthropy Association, menengarai beberapa faktor yang mendorong tingginya semangat filantropi di Indonesia. Pertama, faktor agama. Ajaran agama tentang sedekah, zakat, infak, wakaf dan lainnya, merupakan salah satu yang menjadi latar belakang. Sekira 5 tahun terakhir, muncul tradisi baru di kalangan muslim, Jumat Berkah. Dengan berbagai variasi, orang-orang Islam menunjukan semangat filantropinya di Hari Jumat.

Kedua, tradisi lokal dan aktivitas untuk saling membantu. Filosofi gotong royong pemantik kognitif masyarakat Indonesia untuk berderma. Ketiga, transformasi digital. Platform digital sukses untuk mengatrol semangat filantropi. Situs yang digunakan sebagai medium untuk berdonasi dengan mudah kita temukan. Transformasi digital mengatasi keterbatasan secara geografis serta persoalan penjarakan secara fisik yang pada masa pandemik cukup ketat diberlakukan. Walhasil, donasi online pada masa pandemi terasa deras.

Keempat, keterlibatan kaum muda, role model dan penggunaan media sosial. Tidak bisa dipungkiri, keberhasilan filantropi di Indonesia, salah satunya, ditunjukkan oleh para Youtuber, Seleb Instagram dan lainnya yang berhasil mengakumulasi semangat bersedekah para followernya. Pada faktor keempat ini, pendonor berasal dari kalangan 29-34 tahun.

Tingkat kedermawanan yang tinggi menjadi faktor pendukung untuk merealisasikan pemberdayaan masyarakat berbasis masjid. Jika spirit yang sudah tertanam pada diri masyarakat Indonesia ini dikawinkan dengan semangat akuntabilitas, berorientasi pada dimensi produktif (bukan konsumtif), serta publikasi (untuk tujuan syiar) yang memadai, akan memperkuat kerja-kerja penguatan ekonomi umat.

Tulisan ini telah dipublikasikan di Harian Suara Merdeka, Jumat 1 September 2023